Beranda | Artikel
Siapakah Ulil Amri atau Penguasa yang Wajib Ditaati? (Bag. 4)
Sabtu, 16 Juni 2018

Baca pembahasan seblumnya Siapakah Ulil Amri atau Penguasa yang Wajib Ditaati? (Bag. 3)

Nasihat dan Penjelasan Ulama Ahlus Sunnah dalam Masalah Melengserkan Penguasa atau Pemerintah yang Sah

Dalam pembahasan sebelumnya, kami sebutkan syarat-syarat bolehnya melengserkan penguasa yang sah. Dalam pembahasan kali ini, kami sebutkan penjelasan para ulama yang berkaitan dengan ditetapkannya syarat-syarat tersebut.

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu,

أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

“Hadits ini menunjukkan bahwa mereka (rakyat) tidak boleh menentang atau memberontak kepada ulil amri (penguasa), kecuali jika mereka melihat kekafiran yang nyata dan dalam kondisi mereka memiliki bukti di hadapan Allah (bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan kekafiran). Hal ini semata-mata karena keluar memberontak kepada penguasa yang sah menyebabkan timbulnya berbagai kerusakan dan kekacauan yang sangat besar, menghilangkan rasa aman (di masyarakat), dan tersia-siakannya hak-hak masyarakat. Tidaklah mudah menegur orang (penguasa) yang berbuat zalim dan tidak mudah pula menolong orang yang dizalimi, sehingga jalan-jalan tersebut memang tidak aman.

Sehingga, keluar memberontak kepada penguasa akan menimbulkan kerusakan dan kekacauan yang besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat bahwa penguasa melakukan tindakan kekafiran yang nyata dan memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran. (Dalam kondisi seperti ini), mereka boleh memberontak untuk melengserkan sang penguasa jika mereka memiliki kemampuan. Adapun jika mereka tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak. Atau jika kudeta tersebut menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka tidak boleh ada kudeta, demi menjaga maslahat (kebaikan) kaum muslimin secara umum.

(Hal ini berdasarkan) kaidah syar’iyyah yang disepakati, yaitu:

أنه لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه، بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه

Sesungguhnya tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih parah. Bahkan wajib hukumnya menghilangkan kejelekan dengan sesuatu yang benar-benar menghilangkan kejelekan tersebut atau (minimal) meminimalisir kejelekan tersebut.

Adapun menghilangkan kejelakan dengan (menimbulkan) kejelekan yang lebih parah, maka ini tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Jika sekelompok orang yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekafiran yang nyata tersebut memiliki kemampuan untuk melengserkan penguasa dan menggantinya dengan pemimpin (baru) yang baik dan shalih, tanpa menimbulkan kerusakan yang besar atas kaum muslimin, dan tanpa menimbulkan kejelekan yang lebih besar daripada kejelekan penguasa yang lama, maka boleh (melakukan kudeta).

Adapun jika kudeta tersebut menimbulkan kerusakan yang besar, hilangnya rasa aman, kezaliman terhadap manusia, pembunuhan orang-orang yang tidak boleh dibunuh, atau kerusakan besar lainnya, maka dalam kondisi seperti ini tidak boleh memberontak. Akan tetapi, wajib untuk bersabar, mendengar dan taat dalam perkara kebaikan, tetap menasihati penguasa, berdakwah kepadanya dengan kebaikan, dan melakukan upaya untuk meminimalisir kejelekan dan memperbanyak perbaikan.

Inilah jalan yang lurus yang wajib untuk ditempuh, karena di dalamnya terdapat maslahat untuk kaum muslimin secara umum, juga karena di dalamnya terdapat usaha meminimalisir kejelekan dan memperbanyak perbaikan, juga menjaga keamanan dan keselamatan kaum muslimin dari kejelekan yang lebih besar” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 8/203).

Senada dengan penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Jika kita memiliki kemampuan untuk melengserkan penguasa, maka dalam kondisi ini boleh untuk melakukan kudeta. Adapun jika kita tidak mampu, maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena semua kewajiban syariat itu dikaitkan dengan adanya kemampuan.

Kemudian jika kita memberontak, namun menimbulkan kerusakan yang lebih besar, dibandingkan jika pemimpin tersebut tetap berada pada kekuasaannya, (maka tidak boleh memberontak, pen.). Karena seandainya kita memberontak namun kemudian tampak bahwa kemuliaan itu milik penguasa (yang dilengserkan) tersebut, maka jadilah kita lebih hina lagi, jadilah kita ngotot dalam perbuatan melampaui batas dan bisa jadi lebih banyak kekafirannya.

Maka permasalahan ini membutuhkan akal (perlu dipikirkan masak-masak, pen.) dan hendaknya syariat diringi dengan akal sehat. Hendaknya semata-mata perasaan itu dijauhkan dari urusan semacam ini. Kita memang membutuhkan perasaan untuk menyemangati kita, namun kita membutuhkan akal sehat dan syariat agar kita tidak dijerumuskan oleh perasaan ke dalam kehancuran” (Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, pertanyaan no. 1222).

Yang patut diperhatikan pula adalah mayoritas pemberontakan yang terjadi di masa silam, meskipun pemberontakan tersebut disebabkan oleh kekafiran nyata (atas dasar yakin) yang dilakukan oleh penguasa, pemberontakan tersebut tidaklah menghasilkan kecuali kerusakan dan kekacauan, termasuk terbunuhnya banyak kaum muslimin. Padahal, pemberontakan zaman dahulu itu seimbang dari sisi bahwa antara pemberontak dan penguasa bisa jadi memiliki jenis persenjataan yang sama, misalnya pedang, tombak, panah atau pasukan berkuda atau unta.

Adapun di zaman sekarang ini, persenjataan itu banyak jenisnya. Persenjataan kelas berat semacam pesawat tempur, roket, tank, dan selainnya, tidaklah dimiliki kecuali oleh negara dengan penguasa atau pemerintahan yang sah. Adapun orang-orang yang memberontak, tentu saja mereka tidak mampu memilikinya. Maka di poin ini, tentu lebih layak lagi bahwa kesuksesan pemberontakan di zaman ini adalah satu hal yang mustahil. Dan inilah fakta dan realita bahwa berbagai macam kudeta di zaman ini tidaklah menghasilkan kecuali kerusakan dan kekacauan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh penggunaan senjata-senjata modern semacam itu.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Apa faidahnya jika kita memberontak kepada penguasa, dan kita tidaklah memberontak kepada penguasa kecuali hanya membawa bekal pisau dapur, sedangkan penguasa memiliki tank dan peluru. Tidak ada faidahnya. Hal semacam ini hanyalah memberontak untuk bunuh diri” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/515)

[Bersambung]

***

@Bornsesteeg NL common room 19A, 18 Ramadhan 1439/ 3 Juni 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

 

Catatan kaki:

[1]     Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 61-63 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

🔍 Dalil Judi, Bpjs Dalam Islam, Puasa Nisfu Sya Ban Hukumnya, Ayat Alquran Tentang Umroh, Masa Kejayaan Islam Yang Dinantikan Kembali


Artikel asli: https://muslim.or.id/40165-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-4.html